Gambaran perpaduan dan penambahan motif Iblis dalam perspektif keSufian yang telah mengesampingkan salah satu dari peran-peran paling penting yang Iblis mainkan dalam tulisan-tulisan Sufi, suatu peran yang mengingatkan kembali pada konfrontasi antara Iblis dan Adam berdasarkan Al-Qur'an. Karena kesombongannya yang sedemikian besar, Iblis buta akan sifat yang sebenarnya dari Adam yang baru saja di ciptakan, akibatnya dia mendapat julukan si Mata Satu. Keasyikan para Sufi dengan tema ini dan percabangannya untuk sebuah pemahaman tentang kemauan bebas dan takdir akan menjadi pokok pembahasan dari pertanyan-pertanyaan dalam artikel kali ini.
Lihatlah rembulan yang menakjubkan dalam wajah setiap orang.
Bila engkau telah melihat yang awal, lihatlah yang akhir sehingga engkau tidak seperti Iblis, bermata satu.
Setengah dia melihat, setengahnya tidak, seperti mata yang cacat.
Dia melihat tanah liat Adam, tapi keyakinannya tidak dia lihat, dia melihat dunia di dalamnya tapi dunia yang lain tidak di lihatnya
Kebutaan Iblis merupakan sebuah tema Rumi yang paling di sukai, tema ini merupakan sarana yang paling sering di gunakan dalam Diwan dan Mathnawi untuk kiasan terhadap Iblis. Ada beberapa gambaran yang di gunakan Rumi untuk menggambarkan tentang dhahir Adam, unsur jasmaniah (eksterior) yang di terima Iblis, yang berbeda dengan batinnya, bagian rohani (interior) yang tersembunyi (gaib) dari pandangannya.
Dalam seorang Adam yang tidak memiliki kemiripan maupun kesamaan sama sekali, mata Iblis tidak melihat apa-apa selain sebuah sosok tanah liat.
Wahai sahabat yang dungu, jangan menganggap keyakinan yang sebenarnya sebagai tanah liat.
Karena inilah pandangan yang di ambil Iblis, makhluk yang terkutuk.
Karena kekayaan Adam terkubur dalam sebuah puing, unsur tanah liatnya menjadi penghalang pandangan bagi Iblis yang terkutuk.
Dia tetap memperhatikan tanah liat dengan perasaan jijik yang menghina, jiwa Adam tetap berkata, "Tanah liatku adalah sebuah rintangan bagimu"
Bersujud kepada Adam adalah bukti nyata atas superioritasnya, kulit ari senantiasa bersujud kepada biji.
Syair-syair di atas hanyalah sedikit dari metafora-metafora yang di susun Rumi kedalam struktur karyanya. Di tempat yang lain Iblis di gambarkan sebagai seekor sapi yang tidak mampu menemukan mutiara yang tersembunyi di dalam tanah liat, atau sebagai seorang yang senantiasa berpandangan dangkal. Hanya bisa melihat gambaran air dan tanah liat, tetapi tidak melihat ratusan kebun mawar yang ada di belakangnya, tempat di mana sang pujaan, yang pipinya sangat indah bagaikan bulan, telah membuat rumahnya. Apa yang di gambarkan metafora-metafora ini? Jiwa manusia yang tersembunyi, yang menghubungkan dirinya terhadap Allah dalam suatu kedekatan yang sebelumnya itu tidak pernah di berikan kepada makhluk manapun.
Buta terhadap kekayaan Adam yang tersembunyi, pada saat yang sama berarti menolak dasar hubungan yang di temukan pada karunia jiwa Allah sendiri yang bebas dan kreatif. Hubungan yang unik inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain dalam kosmos dan meninggikan derajat manusia di atas mereka.
Ketika Iblis melihat selubung Adam, dia menolaknya, Adam berkata kepadanya, "Engkaulah yang di tolak! Aku tidak di tolak."
Malaikat yang lain bersujud, dan ketika bersujud mereka berkata, "Kami bersaksi, ada sebuah pujaan di bawah selubung yang sifat-sifatnya menghilangkan pikiran kita, dan karena itu kami bersujud."
Kebutaan Iblis adalah jauh lebih buruk dari pada ketidakmampuan indera, ini adalah kesakitan yang terjadi sampai ajal. Karenanya, pertapa dengan seribu tahun pertapaan, yang utama dari orang-orang beriman, menemukan dirinya terkubang dalam kotoran hewan seperti sampah. Ejekan-ejekan Iblis dan para pengikutnya begitu hiruk pikuk, "Engkau di ciptakan dari tanah liat!" memudar kehidupan gaungnya, terabaikan, sementara itu para malaikat terus bersujud tiada henti kepada Adam, orang yang di pilih oleh Allah. Al-Muhasibi secara sinis menggambarkan keadaan Iblis yang baru tadi sebagai keadaan baqa'. Abadi yang biasanya berhubungan dengan keabadian kondisi mistik, namun demikian keadaan baqa'-nya Iblis berada dalam keadaan bala', kesengsaraan dan penderitaan, bukan dalam kedamaian mistik.
Dalam asimilasinya untuk kedalam kisah pengetahuan kesufian tentang konfrontasi kosmik antara Iblis dengan Adam, Para ahli berfokus pada salah satu bagian kejadian penting, yaitu teriakan Iblis; "Ana khayrun minhu!" (Aku lebih baik daripada dia). Kalimat ini, terutama kata pertama, "Ana" (Aku), merupakan simbol klasik para Sufi untuk suatu kesombongan dalam bentuknya yang paling ekstrem. Dosa kesombongan sebagaimana yang di jelaskan dalam sejarah mistik Iblis dalam artikel terdahulu, bagi para Sufi merupakan suatu keadaan yang secara keseluruhan bertolak belakang dengan keadaan para pengikut jalan spiritual. Sementara mistisisme mencapai titik puncaknya dalam kegairahan penyatuan dengan Allah, kesombongan menimbulkan kegairahan akal, dengan akibatnya penonjolan eksistensi diri, dan harga diri yang bebas tak terkendali. Sumber dari keinginan akan penonjolan diri yang membabi buta adalah nafs-Iblis; nama musuh engkau (Iblis) berawal dari huruf alif," An-Niffari menjelaskan, "dan nama musuh engkau Nafs (nafsu) berawal dari huruf nun. Alif dan nun bersama-sama membentuk huruf-huruf dari kata ana (aku)."
Yang jauh lebih membuka pikiran dari pada huybungan kata 'aku' dengan kesombongan adalah kenyataan bahwa para Sufi melihat yang tersembunyi di balik semua itu, adalah sebuah kemungkinan pernyataan yang menuhankan diri sendiri. 'Aku' bukanlah sebuah kata yang bisa di ucapkan oleh orang-orang awam yang belum berpengalaman atau bahkan, dalam beberapa hal oleh mereka yang telah berpengalaman sekalipun. Kata ini hanya dibolehkan bagi sedikit orang-orang yang telah terpilih untuk memasuki alam 'aku' dan mereka tidak mengalami kerusakan spiritual di dalam alam tersebut.
Pengucapan 'aku' yang terlalu cepat adalah sebuah kutukan, sebagaimana 'aku' dari Fir'aun. Tetapi pengucxapan 'aku' pada saat yang tepat adalah sebuah rahmat, sebagaimana 'aku' dari Mansyur.
Bagi sebagian besar Sufi, peryataan 'aku' merupakan desakan setan yang berasal dari dan mengikuti jejak penonjolan Iblis. Hanya Allah yang mempunyai hak untuk mengatakan 'aku'. Demikian kata Al-Kharaz, "Aakan terhalang dari ma'rifat, dan siapapun yang mengatakan kepada Tuhannya 'Engkau' dengan suasana jiwa yang penuh ketergantungan kepada-Nya, maka hatinya akan di bukakan terhadap ma'rifat."
Kitab hadits menyatakan bahwa Iblis sangat terkejut ketika melihat ibadahnya dalam ketaatan selama ribuan tahun berubah menjadi debu yang tak berarti apa-apa, hanya karena sebuah kata,'aku'. Kesombongan akan esensi kemuliaan adalah karakteristik Allah, siapa saja yang menentang Dia dan menyatakan kesamaan dengan-Nya, akan menerima akibat-akibatnya.
'Aku' Iblis adalah sebuah pohon gantung yang padanya dia (Iblis) tergantung akan keabadian, dan orang-orang yang meniru kata-kata Iblis akan menjadi buah dari pohon yang sama tersebut. Para penulis Sufi menjadikan nasib Iblis sebagai analog untuk orang-orang yang akan menempatkan kepercayaan secara membabi buta pada sesuatu yang eksternal, semua itu merupakan pencapaian agama eksternal atau hiasan-hiasan duniawi. Tak ada sesuatupun atau seorangpun yang dapat memastikan awal mula dari keberhasilan spiritual melainkan Allah sendiri.
Oleh karena itu, kehidupan Iblis merupakan saksi terhadap kesia-siaan ibadah tanpa di ikuti pertumbuhan batin (interior) dalam kesucian melalui ketergantungan pada kemuliaan Ilahiah. Kesombongan beribadah bukanlah satu-satunya sebab kebutaan; dalam corak yang sama para penulis spiritual sering menyebutkan nasib Bal'am, putra Ba'ur seorang figur legendaris dengan kemampuan akal yang luar biasa hebatnya, di mana ia mengalami kejatuhan di tangan Musa, sekalipun memiliki kemampuan akal yang hebat.
Bal'am, putra Ba'ur seakan-akan adalah Yesus pada zamannya, mereka tidak menyembah kepada siapapun selain dia, kata-katanya memberikan kesehatan bagi orang yang sakit. Karena kesombongan dan kesempurnaannya, dia bergulat dengan Musa, hasilnya sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama.
Dalam cara yang sama, di dunia ini ada ratusan ribu Iblis dan Bal'am, yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Allah telah menjadikan mereka terkenal, di mana keduanya memberikan kesaksian terhadap yang lainnya.
Anggota yang ketiga di tambahkan kepada kelompok kerturunan Adam, yang kebutaannya terjadi karena perasaan aman yang salah, dia bangga dengan keamanan surga, terlupa dengan kemungkinan bahwa jiwa batinnya dapat terluka karena keadaan sekelilingnya.
Hatim Al-Asamm berkata, "Janganlah terpesona oleh suatu tempat yang aman. Adakah tempat yang paling aman selain dari pada surga? Dan di sana Adam mengalami kejatuhan sebagaimana yang dia alami. Dan janganlah terpesona dengan banyaknya ibadah, karena Iblis setelah sekian lama dalam ketaatan beribadah, juga mengalami kejatuhan sebagaimana yang dia alami. Dan janganlah terpesona dengan tingginya ilmu karena Bal'am sangat berpengetahuan luas tentang nama-nama Allah yang paling mulia, tapi lihatlah apa yang dia alami..."
Iblis dalam konteks ini, tidak hanya di pilih karena keyakinannya pada keunggulan atau superioritas yang di berikan karena pengabdiannya yang lama, selama-berabad-abad dalam singgasana Illahiah, tetapi seperti juga Bal'am dia di kutuk karena kepercayaannya yang membabi buta terhadap akal. Iblis melalui penggunaan pikiran analogisnya (qiyas), sampai pada kesimpulan bahwa dia lebih tinggi dari pada Adam karena unsur api, unsur penting yang dari itu dia di ciptakan, lebih tinggi derajatnya daripada tanah liat yang membentuk Adam. Proses intelektual yang khusus seperti inilah yang menyebabkan kejatuhan Iblis.
Kepercayaan-diri intelektual Iblis, yang di wujudkan dalam kepercayaannya terhadap qiyas, sering di pahami sebagai suatu bagian langsung dari kesombongannya. Namun demikian ada nuansa yang di tambahkan oleh Rumi dengan menyisipkan suatu jalan tengah antara kesombongan dan kebutaan intelektual. Dia menyinggung tentang kecintaan terhadap diri sendiri (narcissism), suatu akibat sampingan dari sebuah kesombongan, yang kemudian menjelaskan bahwa kesombongan akan mengarahkan semua rasa cinta seseorang terhadap diri, sehingga meniadakan kemungkinan tercapainya rasa cinta kepada Allah. Oleh karena itu, kebutaan intelektual merupakan konsekuensi logis dari ketidakmampuan Iblis untuk merindukan, atau mengakui apa yang ada di luar dirinya, terutama kasih sayang Allah yang terjadi pada saat penciptaan Adam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar