Jumat, 12 Februari 2010

Aturan-Aturan Perilaku (Mu'amalat) Dalam Tashawuf

Abu Hafs Haddad dari Nisyapur berkata:

Al-Tashawwuf kulluhu adabun li-kulli waqtin adabun wa-li-kulli maqamin adabun wa-li-kulli halin adabun fa-man lazima adab al-awqad balagha mablagh al-rijal fa-man dhayya'a al-adab fa-huwa ba'idun min haytsu yazunnu al-qurb wa-mardudun min haytsu yazunnu al-qabul


(Tasawuf sepenuhnya berupa tingkah laku; setiap waktu, tempat dan keadaan lingkungan mempunyai adat kebiasaan masing-masing; maka dia akan menyesuaikan diri dengan adat-adat kebiasaan pada setiap kesempatan, mencapai tingkat orang-orang suci; dan dia yang tidak mengindahkan adat-adat kebiasaan itu, maka dia akan jauh tersingkir dari pikiran tentang kedekatan (dengan Tuhan) dan tidak dapat membayangkan bahwa dia bisa di terima oleh Tuhan)

Makna hal ini berkaitan dengan pernyataan Abu Hasan Nuri; Laysa al-tashawwuf rusuman wa-la 'uluman wa-la kinnahu akhlakun (Tasawuf tidak terdiri atas praktik-praktik dan ilmu-ilmu, tapi ia adalah moral atau akhlak) yakni jika ia terdiri atas praktik-praktik, ia bisa lakukan melalui usaha, dan jika ia terdiri atas ilmu-ilmu, ia bisa di peroleh melalui pelajaran, karena ia akhlak, dan tidak dapat di peroleh sampai engkau menuntut dari diri engkau sendiri prinsip-prinsip moral, dan membuat tindakan-tindakanmu sesuai dengan prinsip-prinsip moral itu, dan memenuhi tuntutan-tuntutannya. Adapun perbedaan antara praktik dan moral adalah sebagai berikut, bahwa praktik adalah tindakan-tindakan seremonial yang maujud dari motif-motif tertentu, tindakan-tindakan yang tidak memiliki realitas sehingga bentuknya berlainan dengan ruhnya, sementara akhlak adalah tindakan-tindakan terpuji tanpa upacara atau motif, tindakan-tindakan yang tidak memiliki pretensi, sehingga bentuknya selaras dengan ruhnya.

Murta'isy mengatakan; Al tashawwuf husn al-khulq (Tasawuf adalah watak yang baik). Yang mana hal ini ada tiga macam; pertama, kepada Allah dengan memenuhi perintah-perintah-Nya tanpa kemunafikan; kedua, kepada manusia dengan menhormati yang lebih tua dan berlaku kasih sayang kepada yang lebih muda dan berbuat adil terhadap sesama dan dengan tidak mencari balasan dan keadilan dari segenap orang pada umumnya; ketiga, kepada diri sendiri dengan tidak menuruti hawa nafsu dan setan.

Barang siapa yang membuat dirinya benar dalam tiga hal di atas, ia adalah seorang yang berwatak baik. A'isyah As-Shiddiqah ketika di tanya akhlak nabi, Ia menjawab, "Bacalah Al-Qur'an" Dan Murta'isy juga mengatakan; Hadza madzhabun kulluhu jiddun fa-la takhlithuhu bi-syay'in min-al-hazl (Mazhab tasawuf ini sepenuhnya kesungguhan, karena itu jangan mempermainkannya dan jangan mencontoh perilaku kaum formalis dan berikan penerangan kepada orang yang secara membabi buta meniru mereka) Apabila khalayak ramai melihat formalis-formalis ini berada di tengah-tengah kaum pedamba tasawuf pada zaman kita ini dan memperhatikan tarian dan nyanyian mereka serta mengunjungi istana para pembesar, bertengkar demi upah yang kecil atau demi sesuap makanan, kepercayaan mereka kepada keseluruhan lembaga para sufi telah rusak dan mereka berkata, "Ini semua adalah prinsip-prinsip tasawuf dan ajaran-ajaran sufi terdahulu sama saja." Mereka tidak mengetahui bahwa ini adalah zaman kemunduran dan kurun sejarah penderitaan. Akibatnya, ketamakan mendorong para pemimpin untuk bertindak sewenang-wenang, nafsu birahi mendorong ulama berbuat zina dan sifat suka bermegah-megahan mendorong sang zahid menjadi munafik dan kebanggaan diri mendorong kaum sufi untuk menari dan menyanyi, ketahuilah bahwa keburukan terletak pada orang-orang yang menganut doktrin-doktrin, bukan pada prinsip-prinsip yang menjadi pijakan doktrin-doktrin tersebut, dan bilamana sebagian pengejek menyembunyikan kebodohan mereka dalam ketulusan mistikus sejati, maka ketulusan mistikus sejati ini tak akan berubah menjadi kebodohan.

Abu 'Ali Qarmini (Abu 'Ali Kirmansyahi Qurraysyi) mengatakan; Al-tashawwuf huwa al-akhlaq al-radhiyyat (Tasawuf adalah moral yang baik). Tindakan-tindakan yang baik sedemikian rupa sehingga makhluk dalam segala lingkungan keadaan sepakat dengan Allah dan merasakan kepuasan.

Abu Hasan Nuri mengatakan; Al-tashawwuf huwa al-hurriyyat wa al-futuwwat wa-tark al-taklif wa al-sakha wa-badzl al-dunya (Tasawuf adalah kemerdekaan, sehingga manusia terbebaskan dari ikatan hawa nafsu dan kemurahan hati), yakni dia di bersihkan dari kebanggaan akan kemurahan hati, "dan menghapuskan jerih payah yang sia-sia" yakni dia tidak berusaha meraih pahala yang berlipat ganda "dan kedermawanan" yakni dia menyerahkan dunia ini kepada orang-orang dunia ini.

Abul Hasan Fusyanyi mengatakan; Al-tashawwuf al-yawma'smun wa-la haqiqatun wa-qad kana haqiqatun wa-la'sman (Pada masa ini tasawuf adalah nama tanpa hakikat, padahal semula tasawuf adalah hakikat tanpa nama) yaitu pada masa sahabat-sahabat Nabi saw. dan orang-orang terdahulu, nama ini (tasawuf) tak pernah ada tapi hakikatnya perilaku taswuf ini ada pada setiap orang, tapi kini nama itu ada tapi hakikatnya seolah tak pernah ada.

Jadi, jika ada penyangkalan oleh kaum-kaum tertentu mengenai kebenaran tasawuf, semua itu tidaklah berarti apa-apa, karena mereka hanya menyangkal namanya semata-mata. Sebab gagasan-gagasan tidak berkaitan dengan segala sesuatu yang memiliki nama. Dan apabila mereka menyangkal gagasan-gagasan yang hakiki, ini berarti suatu penyangkalan terhadap keseluruhan hukum suci Rasulullah saw. dan sifat-sifatnya yang terpuji.

Tidak ada komentar: