HIMMAH (KUATNYA
CITA-CITA DAN IKHTIAR) TIDAK AKAN MAMPU MEMECAHKAN BENTENG TAKDIR.
Ungkapan Hikmah yang
pertama menyentuh tentang hakikat amal yang membawa kepada pengertian tentang
amal dhahir dan amal batin. Ia mengajak kita memperhatikan amal batin (suasana
hati) berhubung dengan amal dhahir yang kita lakukan. Sebagai manusia biasa
hati kita cenderung untuk menaruh harapan dan meletakkan ketergantungan kepada
keberadaan amal dhahir. Hikmah kedua memperjelaskan mengenainya dengan membuka
pandangan kita kepada suasana asbab dan tajrid. Bersandar kepada amal terjadi
karena seseorang itu melihat kepada berlakunya hukum sebab dalam melahirkan
akibat. Apabila terlepas dari hukum sebab musabab barulah seseorang itu masuk
kepada suasana tajrid.
Hikmah yang lalu telah
memberi pendidikan yang halus kepada jiwa. Seseorang itu mendapat pemahaman
bahwa bersandar kepada amal bukanlah jalan yang sesungguhnya. Pengertian yang
demikian melahirkan kecenderungan untuk menyerah bulat-bulat kepada Allah
s.w.t. Sikap menyerah tanpa persediaan kerohanian justru malah menggoncangkan
iman. Agar orang yang sedang meninggi semangatnya tidak keliru memilih jalan,
dia diberi pengertian mengenai kedudukan asbab dan tajrid. Pemahaman tentang
maqam asbab dan tajrid membuat seseorang mendidik jiwanya agar menyerah kepada
Allah s.w.t dengan cara yang betul dan selamat bukan menyerah dengan cara yang
sia-sia.
Hikmah kali ini mengajak
kita merenung kepada kekuatan benteng takdir yang melindungi segala sesuatu.
Ketika membincangkan tentang ahli tajrid, kita dapati ahli tajrid melihat
kepada kekuasaan Tuhan yang meletakkan setia kejadian terhadap suatu sebab dan
menetapkannya dalam menyebabkan akibat Ini bermakna semua kejadian dan segala
hukum mengenai sesuatu perkara berada di dalam pentadbiran Allah s.w.t. Dia
yang menguasai, mengatur dan mengurus setiap makhluk-Nya. Urusan ketuhanan yang
menguasai, mengatur dan mengurus atau suasana pentadbiran Allah s.w.t itu
dinamakan takdir. Tidak ada sesuatu yang tidak dikuasai, diatur dan diurus oleh
Allah s.w.t. Oleh itu tidak ada segala sesuatu yang tidak termasuk di dalam
takdir.
Manusia terhijab dari
memandang kepada takdir karena pemahaman hukum sebab musabab. Diri seseorang
menjadi alat sebab musabab yang paling utama menghijab pandangan hati dari
melihat terhadap takdir. Keinginan, cita-cita, angan-angan, semangat, akal
fikiran dan usaha menutupi hati untuk bisa melihat kepada kekuasaan, aturan dan
urusan Tuhan. Hijab kedirian itu jika disimpulkan ia bisa di artikan sebagai
hijab nafsu dan hijab akal. Nafsu yang melahirkan keinginan, cita-cita,
angan-angan dan semangat. Akal menjadi tentara nafsu, menimbang, merancang dan
mengadakan usaha dalam mewujudkan apa yang dicetuskan oleh nafsu. Jika nafsu
inginkan sesuatu yang baik, akal bergerak kepada kebaikan itu. Jika nafsu
inginkan sesuatu yang buruk, akal itu juga yang bergerak kepada keburukan.
Dalam banyak perkara, akal tunduk kepada arahan nafsu, bukan menjadi penasihat
nafsu. Oleh sebab itulah di dalam menundukkan nafsu tidak boleh meminta
pertolongan akal.
Dalam proses memperoleh
penyerahan secara menyeluruh kepada Allah s.w.t terlebih dahulu akal dan nafsu
perlu ditundukkan kepada kekuatan takdir. Akal harus mengakui kelemahannya di
dalam membuka simpul takdir. Nafsu harus menerima hakekat kelemahan akal dalam
perkara tersebut dan ikut tunduk bersama-samanya. Bila nafsu dan akal sudah
tunduk barulah hati mampu beriman dengan sebenarnya kepada takdir.
Beriman kepada takdir
seharusnya melahirkan penyerahan secara berpengetahuan, bukan menyerah kepada
kebodohan. Orang yang bodoh tentang hukum dan perjalanan takdir tidak dapat
berserah diri dengan sebenarnya kepada Allah s.w.t karena dibalik kebodohannya
itulah nafsu akan menggunakan akal untuk menimbulkan keraguan terhadap Allah
s.w.t. Rohani orang yang bodoh dengan hakekat takdir itu masih terikat
dengan sifat-sifat kemanusiaan biasa. Dia masih melihat bahwa makhluk bisa
mendatangkan efek pada kehidupannya. Tindakan orang lain dan kejadian-kejadian
sering mengacau jiwanya. Keadaan yang demikian menyebabkan dia tidak dapat
bertahan untuk terus berserah diri kepada Tuhan. Sekiranya dia memahami tentang
hukum dan peraturan Tuhan dalam perkara takdir tentu dia dapat bertahan dengan
iman.
Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah s.a.w, “Wahai Rasulullah, apakah iman?” Jawab Rasulullah s.a.w, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Kemudian. Juga engkau beriman dengan Qadar baiknya, buruknya, manisnya dan pahitnya adalah dari Allah s.w.t”.
Pandangan kita sering
salah dalam memandang kepada takdir yang berlaku. Kita dikelirukan oleh
istilah-istilah yang biasa kita dengar, Kita cenderung untuk merasakan
seolah-olah Allah s.w.t hanya menentukan yang menjadi dasar saja, sementara
yang halus-halus ditentukan-Nya kemudian, yaitu seolah-olah Dia Melihat
dan Mengkaji perkara yang timbul, barulah Dia membuat keputusan. Kita merasakan
apabila kita berjuang dengan semangat yang gigih untuk mengubah perkara dasar
yang telah Allah s.w.t tetapkan dan Dia Melihat kegigihan kita itu dan
bersimpati dengan kita, lalu Dia pun membuat ketentuan baru supaya terlaksana
takdir baru yang sesuai dengan perjuangan kita. Kita merasakan kehendak dan
tadbir kita berada di hadapan kita, sementara Kehendak dan Tadbir Allah s.w.t
mengikut di belakang. Anggapan dan perasaan yang demikian justru akan membawa
kita kepada kesesatan dan kedurhakaan yang besar, karena kita meletakkan
diri kita pada taraf Tuhan dan Tuhan kita letakkan pada taraf hamba yang
menurut kehendak kita. Untuk menjauhkan diri dari kesesatan dan kedurhakaan
yang besar itu kita perlu sangat memahami soal sunnatullah atau ketentuan Allah
s.w.t. Segala kejadian berlaku menurut ketentuan dan pentadbiran Allah s.w.t.
Tidak ada yang berlaku secara kebetulan. Ilmu Allah s.w.t meliputi yang awal
dan yang akhir, yang azali dan yang abadi. Apa yang didhahirkan dan apa yang
terjadi telah ada pada Ilmu-Nya.
Tidak ada sesuatu
bencanapun (atau bala bencana) yang ditimpakan di bumi, dan tidak juga
yang menimpa diri kamu, melainkan telah tertulis di dalam Kitab (lauhul
mahfuzh) sebelum Kami menjadikannya; sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah. (Ayat
22 : Surah al-Hadiid)
Maha Suci Allah Yang
di tangan-Nyalah segala kerajaan (dunia dan akhirat); dan Dia Maha Kuasa
atas segala sesuatu; - (
Ayat 1 : Surah al-Mulk )
Dan Yang menentukan
kadar(masing-masing) serta memberikan hidayah petunjuk ; ( Ayat 3 : Surah al-A’laa)
Dan Kami jadikan bumi
memancarkan mata air-mata air (di sana sini), lalu bertemulah air (langit dan
bumi) itu untuk (melakukan) satu urusan yang telah ditetapkan. ( Ayat 12 : Surah al-Qamar )
Segala urusan, apapun
istilah yang digunakan, adalah termasuk dalam ketentuan Allah s.w.t. Apa
yang kita istilahkan sebagai perjuangan, ikhtiar, doa, kekeramatan, mukjizat
dan lain-lain semuanya adalah ketentuan Allah s.w.t. Pagar takdir mengelilingi
segala-galanya dan tidak ada sebesar zarah pun yang mampu menembus benteng
takdir yang maha teguh. Tidak terjadi perjuangan dan ikhtiar melainkan
perjuangan dan ikhtiar tersebut telah ada dalam pagar takdir. Tidak berdoa
orang yang berdoa melainkan halnya berdoa itu adalah takdir untuknya yang
sesuai dengan ketentuan Allah s.w.t untuknya. Perkara yang didoakan juga tidak
lari dari garis ketentuan Allah s.w.t. Tidak berlaku kekeramatan dan mukjizat
melainkan kekeramatan dan mukjizat itu adalah takdir yang tidak menyimpang
daripada pentadbiran Allah s.w.t. Tidak menghirup satu nafas atau berdenyut
satu nadi melainkan adalah takdir yang mendhahirkan urusan Allah s.w.t pada
azali.
Kami datang dari Allah dan kepada Allah kami kembali.
Segala perkara datangnya
dari Allah s.w.t atau Dia yang mengadakan ketentuan tanpa campurtangan siapa
pun. Segala perkara kembali kepada-Nya kerana Dialah yang mempastikan hukum
ketentuan-Nya terlaksana tanpa sesiapa pun mampu menyekat urusan-Nya.
Apabila sudah
dipahami bahwa usaha, ikhtiar, menyerah diri dan segala-galanya adalah takdir
yang menurut ketentuan Allah s.w.t, maka seseorang itu tidak lagi merasa
bingung tentang apakah ia hendak berikhtiar atau menyerahkan diri. Ikhtiar dan
berserah diri sama-sama berada di dalam pagar takdir. Jika seseorang menyadari
maqamnya sama ada asbab atau tajrid maka dia hanya perlu bertindak sesuai
dengan maqamnya. Ahli asbab perlu berusaha dengan gigih menurut keadaan hukum
sebab-akibat. Apa juga hasil yang muncul dari usahanya diterimanya dengan
senang hati karena dia tahu hasil itu juga adalah takdir yang ditadbir oleh
Allah s.w.t. Jika hasilnya baik dia akan bersyukur karena dia tahu bahwa
kebaikan itu datangnya dari Allah s.w.t. Jika tidak ada ketentuan baik untuknya
niscaya tidak mungkin dia mendapat kebaikan. Jika hasil yang buruk pula sampai
kepadanya dia akan bersabar karena dia tahu apa yang datang kepadanya itu
adalah menurut ketentuan Allah bukan tunduk kepada usaha dan ikhtiarnya.
Walaupun hasil yang tidak sesuai dengan keinginannya, datang kepadanya tetapi
usaha baik yang dilakukannya tetap diberi pahala dan keberkahan oleh Allah
s.w.t sekiranya dia bersabar dan rela dengan segala takdir yang sampai
kepadanya itu.
Ahli tajrid pula
hendaklah ridha dengan suasana kehidupannya dan tetap yakin dengan jaminan
Allah s.w.t. Dia tidak harus gundah jika terjadi kekurangan pada rezekinya atau
kesusahan menimpanya. Suasana kehidupannya adalah takdir yang sesuai dengan apa
yang Allah s.w.t tentukan. Rezeki yang sampai kepadanya adalah juga ketentuan
Allah s.w.t. Jika terjadi kekurangan atau kesusahan maka ia juga masih lagi di
dalam pagar takdir yang ditentukan oleh Allah s.w.t. Begitu juga jika terjadi
keberkahan dan kekeramatan pada dirinya dia harus melihat itu sebagai takdir
yang menjadi bagiannya.
Persoalan takdir
berkaitan erat dengan persoalan hakekat. Hakekat membawa pandangan dari yang
banyak kepada yang satu. Perhatikan kepada sebiji benih kacang. Setelah ditanam
benih yang kecil itu akan tumbuh dengan sempurna, mengeluarkan beberapa banyak
buah kacang. Buah kacang tersebut dijadikan pula benih untuk menumbuhkan
pokok-pokok kacang yang lain. Begitulah seterusnya sehingga kacang yang bermula
dari satu biji benih menjadi jutaan kacang. Kacang yang sejuta tidak ada
bedanya dengan kacang yang pertama. Benih kacang yang pertama itu bukan saja
mampu menjadi sebatang pokok kacang, malah ia mampu mengeluarkan semua generasi
kacang sehingga hari kiamat. Ia hanya boleh mengeluarkan kacang, tidak benda
lain.
Kajian akal boleh
mengakui bahwa semua kacang mempunyai zat yang sama, iaitu zat kacang. Zat
kacang pada benih pertama serupa dengan zat kacang yang ke satu juta sebab itu
adalah zat yang sama atau yang satu. Zat kacang yang satu itulah ‘bergerak’
pada semua kacang, memastikan yang kacang akan menjadi kacang, tidak menjadi
benda lain. Walaupun diakui perwujudan zat kacang yang mengawal pertumbuhan
kacang, namun zat kacang itu tidak mungkin ditemui pada semua jenis kacang. Ia
tidak berupa dan tidak mendiami semua jenis kacang, tetapi ia tidak terpisah
dengan semua jenis kacang. Tanpanya tidak mungkin ada perwujudan kacang. Zat
kacang ini dinamakan “Hakikat Kacang”. Itu menggambarkan suasana ketuhanan yang
mentadbir dan mengawal seluruh pertumbuhan kacang dari permulaan hingga
selesai, sampai ke hari kiamat. Hakikat Kacang inilah gambaran suasana
pentadbiran Allah s.w.t yang telah Dia tentukan untuk semua kejadian kacang.
Apa saja yang dikuasai oleh Hakikat Kacang tidak ada pilihan kecuali menjadi
kacang.
Suasana pentadbiran
Allah s.w.t yang mentadbir dan mengawal kewujudan keturunan manusia pula
dinamakan “Hakikat Manusia” atau “Hakikat Insan”. Allah s.w.t telah menciptakan
manusia yang pertama, iaitu Adam a.s menurut Hakikat Insan yang ada pada
sisi-Nya. Pada kejadian Adam a.s itu telah disimpankan bakat dan upaya untuk
melahirkan semua keturunan manusia hingga hari kiamat. Manusia akan tetap
melahirkan manusia karena hakikat yang menguasainya adalah Hakikat Manusia.
Pada Hakikat
Manusia itu terdapat hakikat yang menguasai satu individu manusia dan
hubungannya dengan segala kejadian alam yang lain. Seorang manusia yang
berhakikatkan “Hakikat Nabi” pasti menjadi nabi. Seorang manusia yang
berhakikatkan “Hakikat Wali” pasti akan menjadi wali. Suasana pentadbiran Allah
s.w.t atau hakikat itu menguasai roh yang berkaitan dengannya. Roh bekerja
menunjukkankan segala maklumat yang ada dengan hakikat yang menguasainya. Kerja
roh adalah menjalankan urusan Allah s.w.t iaitu menyatakan hakikat yang ada
pada sisi Allah s.w.t.
Dan katakan: “ Roh itu dari perkara urusan Tuhanku”. ( Ayat 85 : Surah Al-Israa’ )
Pentadbiran Allah s.w.t
menguasai roh dan menyeret roh kepada upaya menunjukkan ketentuan-Nya yang
azali. Allah s.w.t telah menentukan hakikat sesuatu sejak azali lagi. Tidak ada
perubahan pada ketentuan Allah s.w.t. Segala sesuatu dikawal oleh hakikat yang
pada sisi Allah s.w.t. Unta tidak boleh meminta menjadi kambing. Beruk tidak
boleh meminta menjadi manusia. Manusia tidak boleh meminta menjadi malaikat.
Segala ketentuan telah diputuskan oleh Allah s.w.t.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar