Rabu, 18 Juli 2012

Keteguhan Benteng Taqdir



HIMMAH (KUATNYA CITA-CITA DAN IKHTIAR) TIDAK AKAN MAMPU MEMECAHKAN BENTENG TAKDIR.  

Ungkapan Hikmah yang pertama menyentuh tentang hakikat amal yang membawa kepada pengertian tentang amal dhahir dan amal batin. Ia mengajak kita memperhatikan amal batin (suasana hati) berhubung dengan amal dhahir yang kita lakukan. Sebagai manusia biasa hati kita cenderung untuk menaruh harapan dan meletakkan ketergantungan kepada keberadaan amal dhahir. Hikmah kedua memperjelaskan mengenainya dengan membuka pandangan kita kepada suasana asbab dan tajrid. Bersandar kepada amal terjadi karena seseorang itu melihat kepada berlakunya hukum sebab dalam melahirkan akibat. Apabila terlepas dari hukum sebab musabab barulah seseorang itu masuk kepada suasana tajrid.


Hikmah yang lalu telah memberi pendidikan yang halus kepada jiwa. Seseorang itu mendapat pemahaman bahwa bersandar kepada amal bukanlah jalan yang sesungguhnya. Pengertian yang demikian melahirkan kecenderungan untuk menyerah bulat-bulat kepada Allah s.w.t. Sikap menyerah tanpa persediaan kerohanian justru malah menggoncangkan iman. Agar orang yang sedang meninggi semangatnya tidak keliru memilih jalan, dia diberi pengertian mengenai  kedudukan asbab dan tajrid. Pemahaman tentang maqam asbab dan tajrid membuat seseorang mendidik jiwanya agar menyerah kepada Allah s.w.t dengan cara yang betul dan selamat bukan menyerah dengan cara yang sia-sia.

Hikmah kali ini mengajak kita merenung kepada kekuatan benteng takdir yang melindungi segala sesuatu. Ketika membincangkan tentang ahli tajrid, kita dapati ahli tajrid melihat kepada kekuasaan Tuhan yang meletakkan setia kejadian terhadap suatu sebab dan menetapkannya dalam menyebabkan akibat Ini bermakna semua kejadian dan segala hukum mengenai sesuatu perkara berada di dalam pentadbiran Allah s.w.t. Dia yang menguasai, mengatur dan mengurus setiap makhluk-Nya. Urusan ketuhanan yang menguasai, mengatur dan mengurus atau suasana pentadbiran Allah s.w.t itu dinamakan takdir. Tidak ada sesuatu yang tidak dikuasai, diatur dan diurus oleh Allah s.w.t. Oleh itu tidak ada segala sesuatu yang tidak termasuk di dalam takdir.

Manusia terhijab dari memandang kepada takdir karena pemahaman hukum sebab musabab. Diri seseorang menjadi alat sebab musabab yang paling utama menghijab pandangan hati dari melihat terhadap takdir. Keinginan, cita-cita, angan-angan, semangat, akal fikiran dan usaha menutupi hati untuk bisa melihat kepada kekuasaan, aturan dan urusan Tuhan. Hijab kedirian itu jika disimpulkan ia bisa di artikan sebagai hijab nafsu dan hijab akal. Nafsu yang melahirkan keinginan, cita-cita, angan-angan dan semangat. Akal menjadi tentara nafsu, menimbang, merancang dan mengadakan usaha dalam mewujudkan apa yang dicetuskan oleh nafsu. Jika nafsu inginkan sesuatu yang baik, akal bergerak kepada kebaikan itu. Jika nafsu inginkan sesuatu yang buruk, akal itu juga yang bergerak kepada keburukan. Dalam banyak perkara, akal tunduk kepada arahan nafsu, bukan menjadi penasihat nafsu. Oleh sebab itulah di dalam menundukkan nafsu tidak boleh meminta pertolongan akal.

Dalam proses memperoleh penyerahan secara menyeluruh kepada Allah s.w.t terlebih dahulu akal dan nafsu perlu ditundukkan kepada kekuatan takdir. Akal harus mengakui kelemahannya di dalam membuka simpul takdir. Nafsu harus menerima hakekat kelemahan akal dalam perkara tersebut dan ikut tunduk bersama-samanya. Bila nafsu dan akal sudah tunduk barulah hati mampu beriman dengan sebenarnya kepada takdir.

Beriman kepada takdir seharusnya melahirkan penyerahan secara berpengetahuan, bukan menyerah kepada kebodohan. Orang yang bodoh tentang hukum dan perjalanan takdir tidak dapat berserah diri dengan sebenarnya kepada Allah s.w.t karena dibalik kebodohannya itulah nafsu akan menggunakan akal untuk menimbulkan keraguan terhadap Allah s.w.t. Rohani orang yang bodoh dengan hakekat takdir itu  masih terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan biasa. Dia masih melihat bahwa makhluk bisa mendatangkan efek pada kehidupannya. Tindakan orang lain dan kejadian-kejadian sering mengacau jiwanya. Keadaan yang demikian menyebabkan dia tidak dapat bertahan untuk terus berserah diri kepada Tuhan. Sekiranya dia memahami tentang hukum dan peraturan Tuhan dalam perkara takdir tentu dia dapat bertahan dengan iman.

 
Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah s.a.w, “Wahai Rasulullah, apakah iman?” Jawab Rasulullah s.a.w, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Kemudian. Juga engkau beriman dengan Qadar baiknya, buruknya, manisnya dan pahitnya adalah dari Allah s.w.t”.   

Pandangan kita sering salah dalam memandang kepada takdir yang berlaku. Kita dikelirukan oleh istilah-istilah yang biasa kita dengar, Kita cenderung untuk merasakan seolah-olah Allah s.w.t hanya menentukan yang menjadi dasar saja, sementara yang halus-halus ditentukan-Nya kemudian, yaitu seolah-olah Dia  Melihat dan Mengkaji perkara yang timbul, barulah Dia membuat keputusan. Kita merasakan apabila kita berjuang dengan semangat yang gigih untuk mengubah perkara dasar yang telah Allah s.w.t tetapkan dan Dia Melihat kegigihan kita itu dan bersimpati dengan kita, lalu Dia pun membuat ketentuan baru supaya terlaksana takdir baru yang sesuai dengan perjuangan kita. Kita merasakan kehendak dan tadbir kita berada di hadapan kita, sementara Kehendak dan Tadbir Allah s.w.t mengikut di belakang. Anggapan dan perasaan yang demikian justru akan membawa kita kepada kesesatan  dan kedurhakaan yang besar, karena kita meletakkan diri kita pada taraf Tuhan dan Tuhan kita letakkan pada taraf hamba yang menurut kehendak kita. Untuk menjauhkan diri dari kesesatan dan kedurhakaan yang besar itu kita perlu sangat memahami soal sunnatullah atau ketentuan Allah s.w.t. Segala kejadian berlaku menurut ketentuan dan pentadbiran Allah s.w.t. Tidak ada yang berlaku secara kebetulan. Ilmu Allah s.w.t meliputi yang awal dan yang akhir, yang azali dan yang abadi. Apa yang didhahirkan dan apa yang terjadi telah ada pada Ilmu-Nya.




Tidak ada sesuatu bencanapun (atau bala  bencana) yang ditimpakan di bumi, dan tidak juga yang menimpa diri kamu, melainkan telah tertulis di dalam Kitab (lauhul mahfuzh)  sebelum Kami menjadikannya; sesungguhnya  yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Ayat 22 : Surah al-Hadiid)



Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan (dunia dan akhirat); dan  Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu; - ( Ayat 1 : Surah al-Mulk )


Dan Yang menentukan kadar(masing-masing) serta memberikan hidayah  petunjuk ; ( Ayat 3 : Surah al-A’laa)


Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air (di sana sini), lalu bertemulah air (langit dan bumi) itu untuk (melakukan) satu urusan  yang telah ditetapkan. ( Ayat 12 : Surah al-Qamar )  

Segala urusan, apapun istilah  yang digunakan, adalah termasuk dalam ketentuan Allah s.w.t. Apa yang kita istilahkan sebagai perjuangan, ikhtiar, doa, kekeramatan, mukjizat dan lain-lain semuanya adalah ketentuan Allah s.w.t. Pagar takdir mengelilingi segala-galanya dan tidak ada sebesar zarah pun yang mampu menembus benteng takdir yang maha teguh. Tidak terjadi perjuangan dan ikhtiar melainkan perjuangan dan ikhtiar tersebut telah ada dalam pagar takdir. Tidak berdoa orang yang berdoa melainkan halnya berdoa itu adalah takdir untuknya yang sesuai dengan ketentuan Allah s.w.t untuknya. Perkara yang didoakan juga tidak lari dari garis ketentuan Allah s.w.t. Tidak berlaku kekeramatan dan mukjizat melainkan kekeramatan dan mukjizat itu adalah takdir yang tidak menyimpang daripada pentadbiran Allah s.w.t. Tidak menghirup satu nafas atau berdenyut satu nadi melainkan adalah takdir yang mendhahirkan urusan Allah s.w.t pada azali.



Kami datang dari Allah dan kepada Allah kami kembali.

Segala perkara datangnya dari Allah s.w.t atau Dia yang mengadakan ketentuan tanpa campurtangan siapa pun. Segala perkara kembali kepada-Nya kerana Dialah yang mempastikan hukum ketentuan-Nya terlaksana tanpa sesiapa pun mampu menyekat urusan-Nya.

 Apabila sudah dipahami bahwa usaha, ikhtiar, menyerah diri dan segala-galanya adalah takdir yang menurut ketentuan Allah s.w.t, maka seseorang itu tidak lagi merasa bingung tentang apakah ia hendak berikhtiar atau menyerahkan diri. Ikhtiar dan berserah diri sama-sama berada di dalam pagar takdir. Jika seseorang menyadari maqamnya sama ada asbab atau tajrid maka dia hanya perlu bertindak sesuai dengan maqamnya. Ahli asbab perlu berusaha dengan gigih menurut keadaan hukum sebab-akibat. Apa juga hasil yang muncul dari usahanya diterimanya dengan senang hati karena dia tahu hasil itu juga adalah takdir yang ditadbir oleh Allah s.w.t. Jika hasilnya baik dia akan bersyukur karena dia tahu bahwa kebaikan itu datangnya dari Allah s.w.t. Jika tidak ada ketentuan baik untuknya niscaya tidak mungkin dia mendapat kebaikan. Jika hasil yang buruk pula sampai kepadanya dia akan bersabar karena dia tahu apa yang datang kepadanya itu adalah menurut ketentuan Allah bukan tunduk kepada usaha dan ikhtiarnya. Walaupun hasil yang tidak sesuai dengan keinginannya, datang kepadanya tetapi usaha baik yang dilakukannya tetap diberi pahala dan keberkahan oleh Allah s.w.t sekiranya dia bersabar dan rela dengan segala takdir yang sampai kepadanya itu.

Ahli tajrid pula hendaklah ridha dengan suasana kehidupannya dan tetap yakin dengan jaminan Allah s.w.t. Dia tidak harus gundah jika terjadi kekurangan pada rezekinya atau kesusahan menimpanya. Suasana kehidupannya adalah takdir yang sesuai dengan apa yang Allah s.w.t tentukan. Rezeki yang sampai kepadanya adalah juga ketentuan Allah s.w.t. Jika terjadi kekurangan atau kesusahan maka ia juga masih lagi di dalam pagar takdir yang ditentukan oleh Allah s.w.t. Begitu juga jika terjadi keberkahan dan kekeramatan pada dirinya dia harus melihat itu sebagai takdir yang menjadi bagiannya.


 Persoalan takdir berkaitan erat dengan persoalan hakekat. Hakekat membawa pandangan dari yang banyak kepada yang satu. Perhatikan kepada sebiji benih kacang. Setelah ditanam benih yang kecil itu akan tumbuh dengan sempurna, mengeluarkan beberapa banyak buah kacang. Buah kacang tersebut dijadikan pula benih untuk menumbuhkan pokok-pokok kacang yang lain. Begitulah seterusnya sehingga kacang yang bermula dari satu biji benih menjadi jutaan kacang. Kacang yang sejuta tidak ada bedanya dengan kacang yang pertama. Benih kacang yang pertama itu bukan saja mampu menjadi sebatang pokok kacang, malah ia mampu mengeluarkan semua generasi kacang sehingga hari kiamat. Ia hanya boleh mengeluarkan kacang, tidak benda lain.

Kajian akal boleh mengakui bahwa semua kacang mempunyai zat yang sama, iaitu zat kacang. Zat kacang pada benih pertama serupa dengan zat kacang yang ke satu juta sebab itu adalah zat yang sama atau yang satu. Zat kacang yang satu itulah ‘bergerak’ pada semua kacang, memastikan yang kacang akan menjadi kacang, tidak menjadi benda lain. Walaupun diakui perwujudan zat kacang yang mengawal pertumbuhan kacang, namun zat kacang itu tidak mungkin ditemui pada semua jenis kacang. Ia tidak berupa dan tidak mendiami semua jenis kacang, tetapi ia tidak terpisah dengan semua jenis kacang. Tanpanya tidak mungkin ada perwujudan kacang. Zat kacang ini dinamakan “Hakikat Kacang”. Itu menggambarkan suasana ketuhanan yang mentadbir dan mengawal seluruh pertumbuhan kacang dari permulaan hingga selesai, sampai ke hari kiamat. Hakikat Kacang inilah gambaran suasana pentadbiran Allah s.w.t yang telah Dia tentukan untuk semua kejadian kacang. Apa saja yang dikuasai oleh Hakikat Kacang tidak ada pilihan kecuali menjadi kacang.

Suasana pentadbiran Allah s.w.t yang mentadbir dan mengawal kewujudan keturunan manusia pula dinamakan “Hakikat Manusia” atau “Hakikat Insan”. Allah s.w.t telah menciptakan manusia yang pertama, iaitu Adam a.s menurut Hakikat Insan yang ada pada sisi-Nya. Pada kejadian Adam a.s itu telah disimpankan bakat dan upaya untuk melahirkan semua keturunan manusia hingga hari kiamat. Manusia akan tetap melahirkan manusia karena hakikat yang menguasainya adalah Hakikat Manusia.

 Pada Hakikat Manusia itu terdapat hakikat yang menguasai satu individu manusia dan hubungannya dengan segala kejadian alam yang lain. Seorang manusia yang berhakikatkan “Hakikat Nabi” pasti menjadi nabi. Seorang manusia yang berhakikatkan “Hakikat Wali” pasti akan menjadi wali. Suasana pentadbiran Allah s.w.t atau hakikat itu menguasai roh yang berkaitan dengannya. Roh bekerja menunjukkankan segala maklumat yang ada dengan hakikat yang menguasainya. Kerja roh adalah menjalankan urusan Allah s.w.t iaitu menyatakan hakikat yang ada pada sisi Allah s.w.t.

 

Dan katakan: “ Roh itu dari perkara urusan Tuhanku”. ( Ayat 85 : Surah Al-Israa’ )
Pentadbiran Allah s.w.t menguasai roh dan menyeret roh kepada upaya menunjukkan ketentuan-Nya yang azali. Allah s.w.t telah menentukan hakikat sesuatu sejak azali lagi. Tidak ada perubahan pada ketentuan Allah s.w.t. Segala sesuatu dikawal oleh hakikat yang pada sisi Allah s.w.t. Unta tidak boleh meminta menjadi kambing. Beruk tidak boleh meminta menjadi manusia. Manusia tidak boleh meminta menjadi malaikat. Segala ketentuan telah diputuskan oleh Allah s.w.t.

Tidak ada komentar: