KEINGINAN KAMU UNTUK BERTAJRID PADAHAL ALLAH MASIH MELETAKKAN KAMU DALAM GOLONGAN ORANG YANG MASIH HARUS BERUSAHA UNTUK MENDAPATKAN KEHIDUPANMU SEHARI-HARI (ASBAB) ADALAH SYAHWAT YANG SAMAR, SEBALIKNYA KEINGINAN KAMU UNTUK BERUSAHA PADAHAL ALLAH TELAH MELETAKKAN KAMU DALAM DIANTARA GOLONGAN YANG SEMATA-MATA HANYA BERIBADAH (TAJRID), MENGIKUTI KEINGINANMU ITU BERARTI TURUN DARI SEMANGAT DAN DERAJAT YANG TINGGI.
Ungkapan yang pertama menerangkan tanda orang yang bersandar kepada amal. Bergantung kepada amal adalah sifat manusia biasa yang hidup dalam dunia ini. Dunia ini dinamakan alam asbab. Apabila perjalanan hidup keduniaan dipandang melalui mata ilmu atau mata akal akan dapat disaksikan keteraturan susunan sistem sebab musabab yang mempengaruhi segala kejadian. Tiap sesuatu berlaku menurut sebab yang menyebabkan ia berlaku. Hubungan sebab dengan akibat sangat erat. Mata akal melihat dengan jelas logika sebab dalam menentukan akibat. Keteraturan sistem sebab musabab ini membolehkan manusia mengambil manfaat dari unsur-unsur dan kejadian alam. Manusia dapat menentukan unsur-unsur yang tidak baik bagi kesehatan lalu menjauhkannya dan manusia juga dapat menentukan unsur-unsur yang bisa menjadi obat lalu menggunakannya. Manusia boleh membuat ramalan cuaca, pasang surut air laut, angin, ombak, letupan gunung berapi dan lain-lain karana sistem yang mengawal perjalanan unsur alam berada dalam keadaan yang sangat teratur dan sempurna, membentuk hubungan sebab dan akibat yang padu.
Allah s.w.t mengadakan sistem sebab musabab yang teratur adalah untuk kemudahan manusia menyusun kehidupan mereka di dunia ini. Kekuatan akal dan pancaindera manusia mampu mentadbir kehidupan yang dikaitkan dengan perjalanan sebab musabab. Hasil dari pemikiran dan kajian akal itulah lahir berbagai-bagai jenis ilmu tentang alam dan kehidupan, seperti ilmu sains, astronomi, kedokteran, dan sebagainya. Semua jenis ilmu itu dibentuk berdasarkan perjalanan hukum sebab-akibat.
Keteraturan sistem sebab musabab menyebabkan manusia terikat kuat dengan hukum sebab-akibat. Manusia bergantung kepada amal (sebab) dalam mendapatkan hasil (akibat). Manusia yang melihat kepada sebab dalam menentukan akibat serta bersandar dengannya dinamakan ahli asbab.
Sistem sebab musabab atau perjalanan hukum sebab-akibat sering membuat manusia lupa kepada kekuasaan Allah s.w.t. Mereka melakukan sesuatu dengan penuh keyakinan bahwa akibat pasti akan lahir dari sebab, seolah-olah Allah s.w.t tidak ikut campur dalam urusan mereka. Allah s.w.t tidak suka hamba-Nya ‘mempertuhankan’ sesuatu kekuatan sehingga mereka lupa kepada kekuasaan-Nya. Allah s.w.t tidak suka jika hamba-Nya sampai kepada tahap mempersekutukan diri-Nya dan kekuasaan-Nya dengan unsur alam dan hukum sebab-akibat ciptaan-Nya. Dia yang meletakkan efektivitas kepada unsur alam itu menjadi kuat dan membuat unsur alam itu lemah kembali. Dia yang meletakkan keteraturan pada hukum sebab-akibat berwenang merombak kembali hukum tersebut. Dia mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi membawa mukjizat yang merombak hukum sebab-akibat untuk mengembalikan pandangan manusia kepada-Nya, agar pemahaman hukum sebab musabab tidak menghijab ketuhanan-Nya. Kelahiran Nabi Isa a.s, terbelahnya laut dipukul oleh tongkat Nabi Musa a.s, kehilangan kuasa membakar yang ada pada api tatkala Nabi Ibrahim a.s masuk ke dalamnya, keluarnya air yang jernih dari jari-jari Nabi Muhammad s.a.w dan banyak lagi yang didatangkan oleh Allah s.w.t, merombak efektivitas hukum sebab-akibat untuk menyadarkan manusia tentang hakekat bahwa kekuasaan Allah s.w.t yang memimpin perjalanan dunia dan hukum sebab-akibatnya. Alam dan hukum yang ada padanya seharusnya membuat manusia mengenal Tuhan, bukan menutup pandangan kepada Tuhan. Sebagian dari manusia diselamatkan Allah s.w.t dari pemahaman hukum sebab musabab.
Sebagai manusia yang hidup dalam dunia mereka masih bergerak dalam arus sebab musabab tetapi mereka tidak meletakkan efektivitas hukum kepada sebab. Mereka senantiasa melihat kekuasaan Allah s.w.t yang menetapkan atau mencabut efektivitas pada suatu hukum sebab-akibat. Jika suatu sebab mampu mengeluarkan akibat menurut yang biasa terjadi, mereka melihatnya sebagai kekuasaan Allah s.w.t yang menetapkan kekuatan kepada sebab tersebut dan Allah s.w.t juga yang mengeluarkan akibatnya. Allah s.w.t berfirman:
Orang yang melihat kepada kekuasaan Allah s.w.t yang mejalankan hukum sebab-akibat dan tidak meletakkan langsung kepada hukum tersebut. Ketergantungannya kepada Allah s.w.t, tidak kepada amal yang menjadi sebab. Orang yang seperti ini dipanggil ahli tajrid.
Ahli tajrid, seperti juga ahli asbab, melakukan sesuatu menurut peraturan sebab-akibat. Ahli tajrid juga makan dan minum Ahli tajrid memanaskan badan dan memasak dengan menggunakan api juga. Ahli tajrid juga melakukan sesuatu pekerjaan yang berhubung dengan rezekinya. Tidak ada perbedaan di antara amal ahli tajrid dengan amal ahli asbab. Perbedaannya terletak di dalam diri yaitu hati. Ahli asbab melihat kepada kekuatan hukum alam. Ahli tajrid melihat kepada kekuasaan Allah s.w.t pada hukum alam itu. Walaupun ahli asbab mengakui kekuasaan Allah s.w.t tetapi penghayatan dan kekuatannya pada hati tidak sekuat ahli tajrid.
Dalam melakukan kebaikan ahli asbab perlu melakukan mujahadah. Mereka perlu memaksa diri mereka berbuat baik dan perlu menjaga kebaikan itu agar tidak menjadi rusak. Ahli asbab perlu memperingatkan dirinya supaya berbuat ikhlas dan perlu melindungi keikhlasannya agar tidak dirusak oleh riak (berbuat baik untuk diperlihatkan kepada orang lain agar dia dikatakan orang baik), takabur (sombong dan membesar diri, merasakan diri sendiri lebih baik, lebih tinggi, lebih kuat dan lebih cerdik daripada orang lain) dan sama’ah (mengarahkan perhatian orang lain kepada kebaikan yang telah dibuatnya dengan cara bercerita mengenainya, agar orang mengakui bahwa dia adalah orang baik). Jadi, ahli asbab perlu memelihara kebaikan sebelum melakukannya dan juga setelah melakukannya. Suasana hati ahli tajrid berbeda daripada apa yang dialami oleh ahli asbab. Jika ahli asbab memperingatkan dirinya supaya ikhlas, ahli tajrid tidak melihat kepada ikhlas karana mereka tidak bersandar kepada amal kebaikan yang mereka lakukan. Segala kebaikan yang keluar dari diri mereka diserahkan kepada Allah s.w.t yang mengaruniakan kebaikan tersebut. Ahli tajrid tidak perlu menentukan perbuatannya ikhlas atau tidak ikhlas. Melihat keihklasan pada perbuatan sama dengan melihat diri sendiri yang ikhlas. Apabila seseorang merasakan dirinya sudah ikhlas, sesungguhnya masih tersembunyi keegoan diri yang membawa kepada riak, ujub (merasakan diri sendiri sudah baik) dan sama’ah. Apabila tangan kanan berbuat ikhlas dalam keadaan tangan kiri tidak menyadari perbuatan itu barulah tangan kanan itu benar-benar ikhlas. Orang yang ikhlas berbuat kebaikan dengan melupakan kebaikan itu. Ikhlas sama seperti harta benda. Jika seorang miskin diberi harta oleh jutawan, orang miskin itu malu dan mengembalikan harta tersebut kepada jutawan itu dengan mengatakan yang dia sudah kaya. Orang tajrid yang diberi ikhlas oleh Allah s.w.t mengembalikan kebaikan mereka kepada Allah s.w.t. Jika harta orang miskin itu hak si jutawan tadi, ikhlas orang tajrid adalah hak Allah s.w.t. Jadi, orang asbab bergembira kerana melakukan perbuatan dengan ikhlas, orang tajrid pula melihat Allah s.w.t yang mentadbir sekalian urusan. Ahli asbab mengarah kepada syukur, ahli tajrid berada dalam penyerahan.
Kebaikan yang dilakukan oleh ahli asbab merupakan teguran agar mereka ingat kepada Allah s.w.t yang memimpin mereka kepada kebaikan. Kebaikan yang dilakukan oleh ahli tajrid merupakan karunia Allah s.w.t kepada kumpulan manusia yang tidak memandang kepada diri mereka dan kepentingannya. Ahli asbab melihat kepada berlakunya hukum sebab-akibat. Ahli tajrid pula melihat kepada berlakunya kekuasaan dan ketentuan Allah s.w.t. Dari kalangan ahli tajrid, Allah s.w.t memilih sebagian dan meletakkan kekuatan hukum pada mereka. Kumpulan ini bukan sekedar tidak melihat kepada berlakunya hukum sebab-akibat, malah mereka di beri wewenang menguasai hukum sebab-akibat itu. Mereka adalah nabi-nabi dan wali-wali pilihan. Nabi-nabi dianugerahkan mukjizat dan wali-wali dianugerahkan kekeramatan. Mukjizat dan kekeramatan merombak berlakunya hukum sebab-akibat.
Di dalam kumpulan wali-wali pilihan yang dikaruniakan kekuatan mengawal hukum sebab-akibat itu terdapatlah orang-orang seperti Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, Abu Hasan as-Sadzili, Rabiatul Adawiah, Ibrahim Adham dan lain-lain. Cerita tentang kekeramatan mereka sering diperdengarkan. Orang yang cenderung kepada tarekat tasawuf gemar menjadikan kehidupan aulia Allah s.w.t tersebut sebagai contoh, dan yang paling mudah menarik perhatian adalah bagian kekeramatan. Kekeramatan biasanya dikaitkan dengan perilaku kehidupan yang zuhud dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Timbul anggapan bahwa jika mau memperoleh kekeramatan seperti mereka haruslah hidup sebagaimana mereka. Orang yang berada pada peringkat permulaan bertarekat cenderung untuk memilih jalan bertajrid yaitu membuang segala ikhtiar dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Sikap melulu bertajrid membuat seseorang meninggalkan pekerjaan, isteri, anak-anak, masyarakat dan dunia seluruhnya. Semua harta disedekahkan karana dia melihat Sayidina Abu Bakar as-Siddiq telah berbuat demikian. Ibrahim bin Adham telah meninggalkan takhta kerajaan, isteri, anak, rakyat dan negerinya lalu tinggal di dalam gua. Biasanya orang yang bertindak demikian tidak dapat bertahan lama. Kesudahannya dia mungkin meninggalkan kumpulan tarekatnya dan kembali kepada kehidupan duniawi. Ada juga yang kembali kepada kehidupan yang lebih buruk daripada keadaannya sebelum bertarekat dahulu karana dia mau menebus kembali apa yang telah ditinggalkannya dahulu untuk bertarekat. Keadaan yang demikian berlaku akibat bertajrid secara melulu. Orang yang baru masuk ke dalam bidang latihan kerohanian sudah mau beramal seperti aulia Allah s.w.t yang sudah berpuluh-puluh tahun melatihkan diri. Tindakan mencampak semua yang dimilikinya secara tergesa-gesa membuatnya berhadapan dengan cobaan dan ujian yang bisa menggoncangkan imannya dan mungkin juga membuatnya berputus-asa. Apa yang harus dilakukan bukanlah meniru kehidupan aulia Allah s.w.t yang telah mencapai maqam yang tinggi secara melulu. Seseorang haruslah melihat kepada dirinya dan mengenal pasti kedudukannya, kemampuanya dan daya-tahannya. Ketika masih di dalam maqam asbab seseorang haruslah bertindak sesuai dengan hukum sebab-akibat. Dia harus bekerja untuk mendapatkan rezekinya dan harus pula berusaha menjauhkan dirinya dari bahaya atau kehancuran iman.
Ahli asbab perlu berbuat demikian karana dia masih lagi terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dia masih melihat bahwa tindakan makhluk memberi kesan kepada dirinya. Oleh yang demikian adalah wajar sekiranya dia mengadakan juga tindakan yang menurut pandangannya akan mendatangkan kesejahteraan kepada dirinya dan orang lain. Tanda Allah s.w.t meletakkan seseorang pada kedudukan sebagai ahli asbab ialah apabila urusannya dan tindakannya yang menurut kesesuaian hukum sebab-akibat tidak menyebabkannya mengabaikan kewajipan terhadap tuntutan agama. Dia tetap merasa ringan untuk berbakti kepada Allah s.w.t, tidak terlena dengan nikmat duniawi dan tidak merasa iri hati terhadap orang lain. Apabila ahli asbab berjalan menurut hukum asbab maka jiwanya akan maju dan berkembang dengan baik tanpa menghadapi guncangan yang besar yang bisa menyebabkan dia berputus asa dari rahmat Allah s.w.t. Rohaninya akan menjadi kuat sedikit demi sedikit dan mendorongnya ke dalam maqam tajrid secara selamat. Akhirnya dia mampu untuk bertajrid sepenuhnya.
Ada pula orang yang dipaksa oleh takdir supaya bertajrid. Orang ini asalnya adalah ahli asbab yang berjalan menurut hukum sebab-akibat sebagaimana orang ramai. Kemungkinannya kehidupan seperti itu tidak menambahkan kematangan rohaninya. Perubahan jalan perlu baginya supaya dia bisa maju dalam bidang kerohanian. Oleh sebab itu takdir bertindak memaksanya untuk terjun ke dalam lautan tajrid. Dia akan mengalami keadaan di mana hukum sebab-akibat tidak lagi membantunya untuk menyelesaikan masalahnya. Sekiranya dia seorang raja, takdir mencabut kerajaannya. Sekiranya dia seorang hartawan, takdir menghapuskan hartanya. Sekiranya dia seorang yang cantik, takdir menghilangkan kecantikannya itu. Takdir memisahkannya daripada apa yang dimiliki dan dikasihinya. Pada peringkat permulaan menerima kedatangan takdir yang demikian, sebagai ahli asbab, dia berikhtiar menurut hukum sebab-akibat untuk mempertahankan apa yang dimiliki dan dikasihinya. Jika dia tidak berdaya untuk menolong dirinya dia akan meminta pertolongan orang lain. Setelah puas dia berikhtiar termasuk juga bantuan orang lain, namun tangan takdir tetap juga merombak sistem sebab-akibat yang terjadi atas dirinya. Apabila dia sendiri dengan dibantu oleh orang lain tidak mampu mengatasi arus takdir maka dia tidak ada pilihan kecuali berserah diri kepada takdir. Dalam keadaan begitu dia akan lari kepada Allah s.w.t dan merayu agar Allah s.w.t menolongnya. Pada peringkat ini seseorang itu akan kuat beribadah dan menumpukan sepenuh hatinya kepada Tuhan. Dia benar-benar berharap Tuhan akan menolongnya mengembalikan apa yang pernah dimilikinya dan dikasihinya. Tetapi, pertolongan tidak juga sampai kepadanya sehinggalah dia benar-benar terpisah dari apa yang dimiliki dan dikasihinya itu. Luputlah harapannya untuk memperolehnya kembali. Ridhalah dia dengan perpisahan itu. Dia tidak lagi merayu kepada Tuhan, sebaliknya dia menyerahkan segala urusannya kepada Tuhan. Dia menyerah bulat-bulat kepada Allah s.w.t, tidak ada lagi ikhtiar, pilihan dan kehendak diri sendiri. Jadilah dia seorang hamba Allah s.w.t yang bertajrid. Apabila seseorang hamba benar-benar bertajrid maka Allah s.w.t sendiri akan menguruskan kehidupannya. Allah s.w.t menggambarkan suasana tajrid dengan firman-Nya:
Makhluk Allah s.w.t seperti burung, ikan, kuman dan sebagainya tidak memiliki tempat simpanan makanan. Mereka adalah ahli tajrid yang dijamin rezeki mereka oleh Allah s.w.t. Jaminan Allah s.w.t itu meliputi juga bangsa manusia. Tanda Allah s.w.t meletakkan seseorang hamba-Nya di dalam maqam tajrid ialah Allah s.w.t memudahkan baginya rezeki yang datang dari arah yang tidak diduganya. Jiwanya tetap tenteram sekalipun terjadi kekurangan pada rezeki atau ketika menerima bala ujian.
Sekiranya ahli tajrid sengaja memindahkan dirinya kepada maqam asbab maka ini bermakna dia melepaskan jaminan Allah s.w.t lalu bersandar kepada makhluk . Ini menunjukkan akan kebodohannya tentang rahmat dan kekuasaan Allah s.w.t. Tindakan yang bodoh itu bisa menyebabkan berkurangnya atau hilang terus keberkahan yang Allah s.w.t karuniakan kepadanya. Misalnya, seorang ahli tajrid yang tidak mempunyai pekerjaan kecuali membimbing orang kebanyakani kepada jalan Allah s.w.t, walaupun tidak mempunyai satupun pekerjaan namun, rezeki datang kepadanya dari berbagai-bagai arah dan tidak pernah putus tanpa dia meminta-minta atau mengharap-harap. Pengajaran yang disampaikan kepada murid-muridnya sangat berkesan sekali. Keberkahannya amat terlihat seperti makbulnya doa dan ucapannya yang biasanya menjadi kenyataan. Andainya dia meninggalkan suasana bertajrid lalu berasbab kerana tidak puas hati dengan rezeki yang diterimanya maka keberkahannya akan terlepas. Pengajarannya, doanya dan ucapannya tidak setajam dahulu lagi. Ilham yang datang kepadanya tersekat-sekat dan kefasihan lidahnya tidak selancar biasa.
Seseorang hamba haruslah menerima dan ridha dengan kedudukan yang Allah s.w.t karuniakan kepadanya. Berserah dirilah kepada Allah s.w.t dengan yakin bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah s.w.t tahu apa yang patut bagi setiap makhluk-Nya. Allah s.w.t sangat bijak mengatur urusan hamba-hamba-Nya.
Keinginan kepada pertukaran maqam merupakan tipu daya yang sangat halus. Di dalamnya tersembunyi rangsangan nafsu yang susah disadari. Nafsu di sini meliputi kehendak, cita-cita dan angan-angan. Orang yang baru terbuka pintu hatinya setelah lama hidup di dalam kelalaian, akan mudah tergerak untuk meninggalkan suasana asbab dan masuk ke dalam suasana tajrid. Orang yang telah lama berada dalam suasana tajrid, apabila kesadaran dirinya kembali sepenuhnya, ikut kembali kepadanya adalah keinginan, cita-cita dan angan-angan. Nafsu mencoba untuk bangkit semula menguasai dirinya. Orang asbab perlulah menyadari bahwa keinginannya untuk berpindah kepada maqam tajrid itu mungkin secara halus digerakkan oleh ego diri yang tertanam jauh dalam jiwanya. Orang tajrid perlu juga menyadari keinginannya untuk kembali kepada asbab itu mungkin didorong oleh nafsu rendah yang masih belum berpisah dari hatinya. Ulama tasawuf mengatakan seseorang mungkin dapat mencapai semua maqam nafsu, tetapi nafsu peringkat pertama tidak kunjung padam. Oleh yang demikian perjuangan atau mujahadah mengawasi nafsu sentiasa berjalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar