Selasa, 13 Desember 2011

Antara Shufi, Mutashawwif dan Mutashwif

Sebagaimana yang telah banyak di bahas sebelumnya bahwa shafa (kesucian) berlawanan dengan kadar (ketidaksucian), dan kadar adalah salah satu sifat manusia. Shufi sejati adalah dia yang senantiasa meninggalkan ketidak sucian. Maka sifat dan tabiat manusia (Basyariyyat) telah menguasai segenap wanita Mesir ketika mereka memandang dan terpukau pada keelokan Nabi Yusuf a.s. yang menakjubkan. Tetapi kemudian pengaruh besar sifat itu hilang, hingga pada akhirnya mereka memandangnya tanpa di sertai tabiat manusia mereka dan mereka berseru; "Ini bukan manusia" (QS. 12: 31). Mereka telah membuatnya sasaran penglihatan mereka dan mereka telah mengungkapkan keadaan mereka sendiri. Karenanya Syaikh-syaikh pembimbing di jalan ini mengatakan: Laysa al-shafa min shifat al-basyar li 'anna al-basyar madar wa 'l-madar la yakhlu min al-kadar (kesucian bukanlah salah satu sifat manusia, karena manusia adalah tanah, dan tanah mengandung ketidaksucian, dan manusia tidak dapat melepaskan diri dari ketidaksucian). Karena itu kesucian tidak serupa dengan tindakan (af'al) dan tidak bisa tabiat manusia di binasakan dengan usaha. Sifat kesucian sama sekali tidak tidak berkaitan dengan tindakan dan keadaan dan namanya tidak berhubungan dengan nama-nama dan julukan-julukan. - kesucian adalah ciri khas para pecinta Tuhan, mereka adalah matahari-matahai tanpa mendung - karena kesucian adalah sifat orang-orang yang cinta, dan sang pecinta adalah orang yang mati (fani) dalam sifat-sifatnya sendiri dan hidup (baqi) dalam sifat-sifat kekasihnya. Dan keadaan mereka menyerupai matahari cerah dalam pandangan para ahli. Kekasih Allah, Muhammad sang Pilihan, di tanya tentang keadaan Haritsah, beliau menjawab: "'Abd nawwara 'llah qal bahu bi al-iman" (Dia seorang manusia yang hatinya di sinari oleh cahaya iman) sehingga wajahnya bersinar laksana bulan dan dia di bentuk oleh cahaya Ilahi.

Seorang shufi berkata: Dhiya al-syams wa'l qamar idza 'isytaraka namudzaj min shafa al-hubb wa al-tawhid idza 'isytabaka (Paduan cahaya matahari dan bulan seperti kesucian cinta dan pengesaan Ilahi [tauhid], ketika keduanya membaur bersama-sama). Tentu saja, cahaya matahari dan bulan tidak ada artinya di banding cahaya cinta dan tauhid, dan keduanya tidak akan bisa di sandingkan dengan apapun, tapi di dunia ini tak ada cahaya yang lebih cemerlang dari pada kedua sinar itu. Mata tak dapat melihat cahaya matahari dan bulan dalam penampilannya yang sempurna. Selama ada pengaruh sinar matahari dan bulan, mata senantiasa melihat langit, sedangkan hati melihat singgasana kekuasaan Ilahi dengan cahaya ilmu dan tauhid dan cinta Ilahi, dan selagi masih hidup di dunia ini senantiasa menjelajahi alam akhirat. Semua guru pembimbing di jalan ini sepakat bahwa apabila seseorang telah bebas dari penjara maqam-maqam dan meretaskan belenggu ketidaksucian "keadaan-keadaan" (ahwal), dan terbebaskan dari dunia perubahan dan kebinasaan dan memiliki semua sifat yang terpuji, maka dia terlepas dari semua sifat. Dengan demikian, dia tidak di kungkung oleh sifat terpuji pada dirinya, dia tidak memperhatikan dan dia tidak berbangga diri karenanya. Keadaannya tidak dapat di tangkap oleh segenap daya akal dan waktunya terbebaskan dari pengaruh pikiran-pikiran.  Kehadirannya (hudhur) dengan Allah tiada henti, dan keadaannya tida bersebab. Dan bilamana dia mencapai derajat ini, dia menjadi lenyap (fani) di dunia ini dan akhirat, dan sifat-sifat Ilahiah (rabbani) menggantikan sifat-sifat manusiawinya yang telah sirna, emas dan tanah sama saja dalam pandangannya, dan peraturan-peraturan yang terasa sulit bagi orang lain, terasa mudah baginya.

Berikut ini adalah kisah tentang Haritsah, yang menyatakan behwa ia telah memiliki iman yang sejati kepada Allah. Nabi saw. bertanya: "Apakah hakikat imanmu?"  Haritsah menjawab: "Telah kutanggalkan sifat-sifat diriku, dan aku berpaling dari dunia ini, sehingga batu-batu dan emas serta perak dan tanahnya sama saja dalam pandanganku. Dan kujalani seluruh malam hariku dengan penuh jaga, dan kujalani siang hariku dengan rasa dahaga, hingga aku merasa melihat singgasana Tuhanku menjelma, dan penghuni surga saling kunjung mengunjungi dan penghuni neraka saling lempar melempari." Nabi saw. bersabda, mengulangi kata-kata ini tiga kali:"Engkau mengetahui, maka tekunlah dalam upaya."

Shufi adalah sebuah nama yang di berikan, dan semula pernah di berikan, kepada wali-wali dan ahli keruhanian yang sempurna. Seorang syaikh berkata: "Man shaffahu al-hubb fa-huwa shaf wa man shaffahu al-habib fa-huwa shufyy." (Ia yang di sucikan oleh cinta, adalah suci, dan ia yang tenggelam dalam Kekasih dan yang telah mencampakkan segala yang lain, adalah seorang shufi). Nama itu tidak mempunyai derivasi yang memenuhi keperluan-keperluan etimologis karena tasawuf terlalu luhur untuk memiliki sebuah genus (golongan), yang darinya tasawuf berasal, karena pengasalan satu hal dari hal yang lainnya membutuhkan homogenitas. Semua yang maujud adalah lawan dari kesucian (Shafa), dan segala hal tidak diturunkan dari lawan-lawan mereka. Bagi para shufi, makna tasawuf lebih jelas daripada matahari, dan tidak memerlukan keterangan atau petunjuk apapun. Karenanya "Shufi" sendiri tidak perlu di terangkan, seluruh dunia adalah juru-juru tafsirnya, apakah mereka mengenal martabat nama itu atau tidak pada waktu ketika mereka menelaah maknanya. Kemudian yang sempurna di antara mereka di sebut shufi, sedangkan para pencari yang lebih rendah tingkatannya (thaliban) di antara mereka di sebut mutashawwif; karena tashawwuf termasuk ke dalam bentuk tafa'ul yang mengandung arti "bersusah payah" (takalluf), dan merupakan sebuah cabang dari akar kata yang asli. Perbedaan dalam arti dan dalam etimologi sudah jelas. Kesucian (shafa) adalah suatu kewalian dengan tanda dan suatu pemberitaan (riwayat), dan tasawuf adalah suatu peniruan yang sabar akan kesucian (hikayat lil-shafa bila syikayat). Kemudian, kesucian merupakan sebuah gagasan yang cemerlang dan nyata, dan tasawuf adalah peniruan gagasan itu. Pengikut-pengikutnya menurut derajat ini ada tiga macam: SHUFI, MUTASHAWWIF, DAN MUTASHWIF. Shufi adalah yang mati pada dirinya dan hidup oleh kebenaran, ia bebas dari batas-batas kemampuan manusiawi, dan benar-benar telah sampai kepada Allah. Mutashawwif adalah ia yang berusaha dengan keras untuk mencapai tingkatan ini dengan cara menundukkan hawa nafsu (mujahadat), dan dalam pencariannya ia meluruskan tingkah laku mereka sesuai dengan teladan mereka yaitu para shufi-shufi. Mutashwif adalah ia yang membuat dirinya secara lahiriah serupa dengan para shufi untuk sekedar mencari uang, kekayaan, kekuasaan serta keuntungan-keuntungan duniawi, tetapi tidak sedikitpun mereka mempunyai pengetahuan tentang kedua hal tersebut. Karenanya di katakan; "Al-mutashwif 'inda al-shufiyyat ka al-dzubab wa 'inda ghayrihim ka la-dzi'ab" (Mutashwif dalam pandangan shufi, sehina lalat, dan kelakuannya hanya di dasarkan ketamakan semata, orang lain menganggapnya seperti seekor serigala, mulutnya tak terkendali, karena ia hanya menginginkan secuil bangkai). Maka dari itu, shufi adalah seseorang yang manunggal (shahib wushul), mutashawwif adalah seseorang yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip (shahib ushul), sedangkan mutashwif adalah seseorang yang suka berbuat sia-sia (shahib fudhul). Ia yang mempunyai jiwa manunggal, tidak lagi mempunyai tujuan dan sasaran setelah mendapatkan tujuannya dan sasarannya, ia yang memiliki prinsip menjadi teguh dalam "keadaan-keadaan" di jalan spiritual, dan karenaya ia menjadi tekun mencari rahasia-rahasia-Nya, tetapi ia yang hanya suka berbuat sia-sia akan kehilangan segala sesuatu yang sebenarnya patut ia miliki, dan ia duduk di pintu gerbang formalitas yang mana dengan demikian ia terhijab daqri hakikat.

Tidak ada komentar: